RibakNews.com (Bekasi) –Permasalahan atas Sertifikat Tanah masih kembali terjadi di kalangan masyarakat perumahan umum di Kabupaten Bekasi, salah satunya yaitu, pemecahan Sertifikat yang tertunda dan tidak ada kejelasan, akibat ulah Developer nakal yang diduga didukung Penyelenggara KPR secara ugal-ugalan.
Demikian diungkapkan Pengamat Kebijakan Publik R.Meggi Brotodihardjo terkait permasalahan yang dialami warga perumahan di Tambun, Kabupaten Bekasi, yang menunggu Sertifikat Hak Milik rumah, belum ada kejelasannya sama sekali dan meragukan keabsahannya.
Lebih lanjut Meggi menjelaskan, seharusnya konsumen lebih memahami prosedur penerbitan Sertifikat Hak Milik atas tanah dan bangunan yang diperolehnya dari fasilitas Kredit Pemilikan Rumah (KPR). Ketika konsumen memutuskan untuk membeli rumah dengan fasilitas KPR melibatkan developer, maka status tanah beraneka ragam, mulai tanah tersebut berstatus Hak milik (SHM), SHGB, Girik hingga yang paling buruk tanah tersebut belum memiliki kelengkapan dokumen, maka kemudian developer akan membuat sertifikat tanah tersebut menjadi atas nama developer dengan status Hak Guna Bangungan (HGB) dan inilah yang dikatakan sebagai sertifikat tanah induk, karena pada dasarnya UU No.5/1960 Tentang Pokok-pokok Agraria tidak memperbolehkan badan usaha yang berbentuk badan hukum memegang hak milik atas tanah, jelas Meggi.
Hadirnya skema Kredit Pemilikan Rumah (KPR) 11sangat berguna membantu warga mencicil hunian impian dalam jangka waktu tertentu. Hal inilah yang kemudian mengikat kerja-sama antara developer dan bank yang menyediakan fasilitas Kredit Pemilikan Rumah (KPR) kepada para konsumen dari developer, papar Meggi , Senior Consultant The Ecomist and Social Intelligence.
Skemanya adalah, jika Sertifikat Induk telah terpecah, maka developer berkewajiban segera menjadwalkan penandatanganan Akta Jual Beli (AJB) di hadapan pejabat pembuat akta tanah (PPAT) dengan konsumen. AJB tersebut penting agar konsumen dapat mendaftarkan pemindahan hak atas tanah tersebut ke kantor pertanahan menjadi atas nama konsumen, di mana sebelum dilakukan pemindahan hak tersebut, terlebih dahulu harus dilakukan peralihan hak melalui AJB di hadapan PPAT, jelasnya.
Meggi menambahkan, dalam hal konsumen membeli secara tunai, setelah pemindahan hak dilakukan, selanjutnya konsumen berhak langsung atas sertifikat yang telah menjadi atas nama konsumen. Akan tetapi dalam kasus di mana konsumen membelinya melalui fasilitas KPR dari Bank, maka setelah konsumen menandatangani AJB, selanjutnya pihak bank yang berhak untuk menerima sertifikat yang telah menjadi atas nama konsumen, karena sertifikat tersebut merupakan agunan konsumen atas fasilitas KPR yang konsumen dapat dari Bank, yang diikat dengan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) di hadapan PPAT. Konsumen baru dapat mengambilnya, setelah melunasi pinjaman KPR kepada bank.
Bank penyelenggara KPR justru berkepentingan dengan dilaksanakannya penandatanganan AJB dengan segera, karena bank ingin segera Konsumen menandatangani APHT dengan bank, agar sertifikat hak atas tanah konsumen dapat dibebankan hak tanggungan sebagai agunan fasilitas KPR kepada bank.
Tapi apa jadinya kalau Sertifikat Induknya saja tidak jelas, penerbitan Sertifikatnya diduga illegal?
Lebih lanjut, Meggi mengatakan bahwa atas keluhan dan data yang diperoleh ,telah menemukan indikasi dugaan tindak pidana yang telah dilakukan Developer nakal dan didukung oleh Bank penyelenggara KPR secara ugal-ugalan dan illegal atas penerbitan perijinan, sertifikat, proses KPR, penggelapan pajak , pungutan liar dan sangat perlu segera dilakukan Legal Due Diligence, tegasnya.
‘Saya berjanji kepada warga akan terus mengungkap dan mengawal proses penerbitan Sertifikat Hak Milik warga secara legal dan tanpa pungutan liar (PungLi), seperti yang selama ini telah terjadi, dan segera melaporkan tindak pidananya kepada pihak yang berwajib” ujar Meggi, mantan Tim Perumus Visi-Misi Kabupaten Bekasi, mengakhiri.
(Pahala Pasaribu).