Forkorindo Lapor Ke Presiden Penjualan Lahan Kawasan Bandara Udara Hang Nadim.

RibakNews.com (Jakarta) –Terungkap 165 hektar lahan di Kawasan Bandara Udara Hang Nadim Provinsi Kepulausn Riau, dibongkar Ketua Umum Forum Komunikasi Rakyat Indonesia (Forkorindo), Tohom TPS, SE, SH, MM, hingga menyiapkan laporan ke Presiden RI cq Menteri Perhubungan.

”Kami menemukan seluas 165 hektar lahan di Kawasan Bandara Udara Hang Nadim dialih-fungsikan dan dijual ke Pengusaha Properti. Perbuatan tersebut merupakan kejahatan jabatan, sebab melanggar Rencana Induk Bandar Hang Nadim di Kota Batam Provinsi Kepulauan Riau. Bahkan mengancam dunia penerbangan,” kata Tohom TPS, kepada Wartawan, melalui sambungan telepon, Selasa (13/12/2022).

Rencana Induk Bandar Udara Hang Nadim seluas 1.762,7 hektar. (Dok. Kemenhub RI).

”Sesuai Keputusan Menteri Perhubungan RI nomor 47 tahun 2022 tentang Rencana Induk Bandar Udara Hang Nadim yang dikeluarkan pada 9 Maret 2022 semua area Kawasan Bandara yang memiliki total seluas 1.762,700144 hektar tidak boleh dialihkan ke peruntukan lain, apalagi ke perusahaan properti yang akan membangun kawasan industri dan pergudangan yang tidak terkait dengan kepentingan Kenbandaraan,” kata Tohom TPS.

”Izin pemanfaatan ruang yang dikeluarkan dan/atau diperoleh dengan tidak melalui prosedur yang benar, batal demi hukum. Kemudian ayat 4 disebut: Izin pemanfaatan ruang yang diperoleh melalui prosedur yang benar tetapi kemudian terbukti tidak sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah, dibatalkan oleh Pemerintah dan Pemerintah Paerah (Pemda) sesuai dengan kewenangannya. Lalu, ini yang kami minta, yakni: Setiap Pejabat Pemerintah yang berwenang menerbitkan izin pemanfaatan ruang dilarang menerbitkan izin yang tidak sesuai dengan Rencana Tata Ruang,” papar Ketua Umum Forum Komunikasi Rakyat Indonesia (Forkorindo), Tohom TPS, SE, SH, MM.

Fakta di lapangan, menurut Tohom TPS, pihaknya telah mendapatkan 4 perusahaan yang telah memiliki lokasi atas lahan di Kawasan Bandara yang tidak sesuai dengan Rencana Induk Bandar Udara (RIBU) Hang Nadim di Kota Batam Provinsi Kepulauan Riau. Perusahaan itu antara lain: (a) PT Prima Propertindo Utama, (b) PT Batam Prima Propertindo, (c) PT Cakra Jaya Propertindo dan (d) PT Citra Tritunas Prakarsa.

”Keempat perusahaan itu merupakan perusahaan properti yang akan membangun pergudangan dan bangunan lainnya yang tidak terkait dengan Kebandaraan. Untuk itu, kami juga berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung serta Markas Besar Kepolisian untuk melakukan tindakan pro aktif, seperti memeriksa Kepala Badan Pengusahaan (BP) Batam, serta Direktorat Lahan di BP Batam,” ujar Tohom TPS.

Rencana pengembangan industri pergudangan oleh salah satu penerima alokasi lahan bandara Hang Nadim.

Menurut Undang-undang nomor 1 tahun 2009 tentang penerbangan, kata Tohom, pada pasal 201 menyebut: (1) Lokasi Bandar Udara ditetapkan oleh Menteri. (2) Penetapan lokasi Bandar Udara sebagaimana memuat: a. Titik Koordinat Bandar Udara; dan b. Rencana Induk Bandar Udara. (3) Penetapan lokasi Bandar Udara sebagaimana dimaksud dilakukan dengan memperhatikan: a. Rencana Induk Nasional Bandar Udara; b. Keselamatan dan Keamanan Penerbangan; c. Keserasian dan Keseimbangan dengan budaya setempat dan kegiatan lain terkait di lokasi Bandar Udara; d. Kelayakan Ekonomis, Finansial, Sosial, Pengembangan Wilayah, Teknis Pembangunan, dan Pengoperasian, serta e. Kelayakan Lingkungan.

Perintah UU tentang pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), kata Tohom TPS lagi, dibatalkan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah menurut kewenangan masing-masing sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

”Izin pemanfaatan ruang yang dikeluarkan dan/atau diperoleh dengan tidak melalui prosedur yang benar, batal demi hukum. Kemudian ayat 4 disebut: Izin pemanfaatan ruang yang diperoleh melalui prosedur yang benar, tetapi kemudian terbukti tidak sesuai dengan RTRW, dibatalkan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya. Lalu, ini yang kami minta, yakni: Setiap pejabat pemerintah yang berwenang menerbitkan izin pemanfaatan ruang dilarang menerbitkan izin yang tidak sesuai dengan Rencana Tata Ruang,” jelas Tohom.

Ketum Forkorindo itu menjelaskan, sanksi hukum bagi pejabat yang memberi izin pada pemanfaatan lahan tidak sesuai aturan Tata Ruang, yakni dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000. Selain sanksi pidana, pejabat tersebut dikenakan pidana tambahan berupa pemberhentian secara tidak dengan hormat dari jabatannya.

”Penataan ruang dan lahan, apalagi menyangkut Objek Vital Nasional, tidak boleh dilakukan dengan sembarangan, apalagi jika terindikasi berbau kolusi dan korupsi,” tegas Tohom TPS.

Terkait dengan laporan itu, Humas BP Batam, Ariastuty Sirait, saat ditanya soal penjualan lahan Bandara kepada Pengusaha Properti, hanya menjawak ‘OK.’ Media ini meminta keterangan, apakah benar penjualan lahan kepada perusahaan properti dilakukan oleh BP Batam, dan apa alasannya, namun hingga berita ini dipublikasi, Ariastuty tidak memberi tanggapan.

Area Keselamatan Penerbangan Bandara Hang Nadim, Batam, yang dialokasikan ke Pengembang Properti.

Sebelumnya, pekan lalu Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Batam menggelar rapat dengar pendapat umum (RDP) terkait permasalahan kampung tua dengan warga Kampung Jabi dan Teluk Bakau, yakni lahan Bandara Hang Nadim, Batam. Warga yang bermukim di sekitar Bandara Hang Nadim keberatan, karena BP Batam telah mengalihkan lahan tempat mereka bermukim ke Perusahaan Properti. Padahal, warga itu telah lama bermohon agar lokasi yang mereka tempati dapat dialihkan menjadi lahan pemukiman atau lahan komersial sesuai ketentuang yang ada.

Pertama, mereka memprotes lahan tempat mereka bermukim dimasukkan sebagai Kawasan Keselamatan Operasi Penerbangan (KKOP) Bandara Hang Nadim Batam. Tetapi anehnya, setelah ditetapkan menjadi KKOP, malah BP Batam mengalokasikannya ke Perusahaan Pengembang untuk Industri dan Properti lain.

”Selain masuk dalam kawasan KKOP, permukiman kami di Kampung Jabi dan Teluk Bakau juga terjadi tumpang tindih lahan. Dan saat ini, ada dari pihak perusahaan kerap masuk, bahkan beberapa alat berat sudah masuk ke perkampungan kami,” kata Suaimi, Ketua RW 04 Kampung Jabi, Kelurahan Batu Besar, Kecamatan Nongsa Batam, saat RDP.

Hal senada juga diungkapkan oleh Iwan Darmawan, Ketua RW 18 Kampung Teluk Bakau. Bahkan pihaknya meminta kepada Pemerintah dalam hal ini Badan Pengusahaan (BP) Batam untuk bisa mempertagas terlebih dahulu aturannya melalui sosialisasi. Dan jangan tiba-tiba datang dan mengukur lahan tanpa adanya sosialisasi.

”Tolong dipertegas dulu aturannya seperti apa, jangan sosialisasi belum dilakukan, alat berat malah sudah ada di lokasi permukiman kami. Cara-cara ini sudah tidak beradab. Dan ini kiranya harus menjadi perhatian khusus. Dan masyarakat belum tahu dan mendapatkan informasi terkait relokasi dan bagaimana ke depannya. Jujur hal ini membuat warga tidak nyaman dan resah. Serta jangan langsung mengeksekusi saja,” tegasnya.

Itulah sebabnya Ketua DPRD Batam Nuryanto mengakomodir kekecewaan yang dirasakan warga. Dan pihaknya menegaskan akan menjembatani hal ini dengan warga. Dimana seharusnya, BP Batam dalam hal pengalokasian lahan kepada pihak investor atau pengusaha harus benar-benar dalam kondisi ‘Clean and Clear’. Sehingga tidak ada hal-hal yang tidak diinginkan terjadi. Jika seperti ini, nantinya masyarakat dengan masyarakat akan ‘berantuk’ dan berantem. Dengan kata lain, jika hal ini tidak terwujud, maka BP Batam dianggap gagal. Karena bukannya menimbulkan kenyamanan malah menjadi keonaran untuk masyarakat.

”Ini yang saya cermati dan kritik keras. Mengingat BP Batam ini mewakili pemerintah dan negara. Kalau seperti ini kan terkesan pemerintah mengadu domba warganya,” terangnya. Jika, BP Batam mengalokasi lahan ke investor dalam kondisi tidak ‘clear and clean’, berarti BP Batam harus bisa mengawal dan menengahi permasalahan-permasalahan yang timbul antar warga dengan perusahaan penerima alokasi.

“Ini masyarakat Batam yang diadu loh. Seharusnya mendapatkan alokasi lahan itu harus diperhatikan terlebih dahulu. Dan tidak asal kasih. Itu kan namanya lepas tangan. Kalau BP Batam sebagai pemerintah, tidak bisa menjembatani permasalahan pengusaha dengan rakyat, apa lagi dengan masyarakat dengan masyarakat. Saya tidak sepakat dengan hal itu. Dan harus dikritik tegas. BP Batam jangan hanya jadi penonton saja. Harusnya dijembatani,” tegasnya.

(Timbul Sinaga, SE).