Diduga Melakukan Tindak Pidana Pemalsuan 9 Hakim MK DiLaporkan ke Polisi.

RibakNews.com (Jakarta) –Zico Leonard Djagardo Simanjuntak, Pengacara penggugat perkara nomor 103/PUU-XX/2022 melaporkan 9 Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) ke Polda Metro Jaya dengan sangkaan tindak pidana pemalsuan karena diduga telah mengubah substansi dalam perkara tersebut terkait dengan pencopotan Hakim Aswanto.

“Kita baru saja membuat laporan polisi, pada laporan ini kita membuat laporan 9 hakim konstitusi dan juga 1 panitra, dan 1 panitra pengganti atas adanya dugaan tindak pidana pemalsuan,” kata Penasehat Hukum Zico, Leon Maulana Mirza, kepada wartawan di Polda Metro Jaya, Jakarta Selatan, seperti dilansir situs nasional, Rabu (1/2/2023).

Selain dugaan pemalsuan, Leon menyebut dalam putusan itu ada frasa yang sengaja diubah dari ‘demikian’ menjadi ‘ke depan’. Perubahan tersebut telah mengubah penafsiran yang berdampak pada nasib pencopotan hakim Aswanto.

“Ini kan ada suatu hal yang baru apabila ini dinyatakan dalam suatu hal yang typo sangat tidak subtansial karena ini subtansi frasanya sudah berbeda kurang lebih seperti itu,” ujarnya.

Angela Claresta Foek yang juga kuasa hukum pelapor menerangkan kliennya atau Zico Leonard Djagardo Simanjuntak memang tak hadir dalam sidang pembacaan putusan. Namun, kliennya menerima salinan putusan tersebut.

Kemudian, pada Januari 2023, Zico kembali menonton siaran di akun YouTube. Namun, saat didengarkan putusan yang dibacakan berbeda dengan salinan yang diterima.

“Setelah ditelaah dan diteliti kembali, ada frasa yang berbeda, dari ‘dengan demikian’ lalu pada salinan dan risalahnya, pokoknya yang tertulisnya itu sudah ganti jadi ‘ke depannya’. Sehingga itu mengakibatkan kerugian bagi pemohon,” tutur Angela.

Dalam laporan ini, pihak pelapor turut menyertakan sejumlah barang bukti. Di antaranya adalah video pembacaan putusan dan salinan putusan. Laporan ini diterima kepolisian dengan nomor LP/B/557/II/2023/SPKT/POLDA METRO JAYA tanggal 1 Februari 2023. Pasal yang dilaporkan adalah Pasal 263 KUHP tentang pemalsuan surat.

Ditindaklanjuti Melalui MKMK

MK sendiri telah merespons dugaan pengubahan substansi putusan tersebut dan memutuskan untuk menindaklanjutinya, lebih lanjut melalui Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK). Keputusan itu diambil lewat Rapat Permusyawarahan Hakim (RPH) yang digelar pada hari ini, Senin (30/1). RPH diikuti oleh sembilan hakim konstitusi.

“Kami telah menyepakati bahwa penyelesaian mengenai bagaimana kronologinya dan kebenaran atas isu yang berkembang tidak dilakukan oleh kami sendiri sebagai hakim, tapi akan diselesaikan melalui Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK),” ujar Enny Nurbaningsih selaku juru bicara sekaligus hakim konstitusi di kantornya, Jakarta, Senin (30/1).

Berdasarkan Undang-undang (UU) Nomor 7 Tahun 2020 tentang MK, Enny menjelaskan komposisi MKMK akan diisi oleh hakim aktif, tokoh masyarakat dan akademisi. Lewat RPH, Enny ditunjuk untuk masuk keanggotaan MKMK.

Sementara tokoh masyarakat akan diisi oleh mantan hakim konstitusi I Dewa Gede Palguna. Mewakili akademisi MK menunjuk Profesor Sudjito yang notabene juga merupakan Dewan Etik MK.

Dugaan perubahan substansi putusan dimaksud kali pertama diungkapkan Zico selaku penggugat perkara nomor: 103/PUU-XX/2022 yang menilai perubahan tersebut telah menghasilkan makna yang berbeda. Apalagi, putusan dibacakan MK beberapa jam setelah hakim konstitusi Aswanto diganti dengan Guntur Hamzah yang saat itu merupakan Sekretaris Jenderal MK.

Detail perubahan dimaksud sebagai berikut:

Kalimat yang diucapkan hakim konstitusi Saldi Isra dalam jabaran pertimbangan putusan pada 23 November 2022 yaitu:

“Dengan demikian, pemberhentian hakim konstitusi sebelum habis masa jabatannya hanya dapat dilakukan karena alasan: mengundurkan diri atas permintaan sendiri yang diajukan kepada ketua Mahkamah Konstitusi, sakit jasmani atau rohani secara terus-menerus selama 3(tiga) bulan sehingga tidak dapat menjalankan tugasnya yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter, serta diberhentikan tidak dengan hormat karena alasan sebagaimana termaktub dalam Pasal 23 ayat (2) UU MK….. dan seterusnya.”

Sedangkan yang tertuang dalam salinan putusan di situs MK yaitu:

“Ke depan, pemberhentian hakim konstitusi sebelum habis masa jabatannya hanya dapat dilakukan karena alasan: mengundurkan diri atas permintaan sendiri yang diajukan kepada ketua Mahkamah Konstitusi, sakit jasmani atau rohani secara terus-menerus selama 3(tiga) bulan sehingga tidak dapat menjalankan tugasnya yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter, serta diberhentikan tidak dengan hormat karena alasan sebagaimana termaktub dalam Pasal 23 ayat (2) UU MK….. dan seterusnya.”

(Pas/Red).